Translate

Selasa, 12 November 2013

Pertemuan Putih Hitam

Pertemuan Putih Hitam Karya Septi Wahyuni, merupakan salah satu cerpen yang sangat menarik buat anda baca. FLP lubuklinggau meloloskan cerpen ini untuk masuk nominasi di "Anugerah Cerpen Silampari 2013". Mau tahu alasan kenapa cerpen ini masuk nominasi, baca dulu ceritanya sekarang....

Mentari naik, kira-kira sepenggal kepala. Orang-orang hilir mudik melintas jalan raya. Jalan aspal yang menjadi pusat penglihatanku, kini pudar oleh daun waru kering yang jatuh melayang persis di hadapanku. Entah mengapa, aku begitu tertarik untuk mengambilnya, seakan ada kenangan lama tersirat di dalamnya. Mungkin orang yang melihatku menganggap bahwa diriku gila, tidak waras. Aku senyum-senyum sendiri memainkan tangkai daun waru itu. Namun, senyum itu akhirnya lenyap oleh suara dari seberang jalan. Suara yang seketika menghantam dadaku, menyobek nadiku.

Tak butuh waktu lama, orang-orang langsung berdatangan mengerubungi sumber suara itu. Mengerubungi sosok lelaki paruh baya yang berlumur darah. Bibirnya pecah, tangan dan kakinya memar parah, kepalanya terus mengeluarkan darah. Kutatap wajahnya dalam-dalam, wajah yang tak asing lagi bagiku. Wajah yang akrab kusebut dengan Wajanam alias wajah jahanam.

“Astogfirullahal‘adzim! Kasihan sekali dia!! Vina, bawa saja lelaki itu ke rumahmu, sambari menunggu keluarganya datang. Sebab, rumahmu yang paling dekat!” kata Bik Rum penuh belas, tetanggaku yang berada di seberang jembatan kulon.

“Ke rumahku? Tidak! Aku tidak sudi menolong Wajanam ini! Biarkan saja ia mati di tempat ini!” tukasku dengan mata berkaca-kaca.
“Wajanam? Kau kenal dengannya!? tanyanya lagi. Aku hanya terdiam. Kedua tangan kusematkan di dada. Ada rasa menelusup yang mencoba menghentikan detak jantungku. Aku tak kuasa.Tak berapa lama, aku beranjak pergi meninggalkan kerumunan itu.

“Vina... Vina....!” teriak Bik Rum berusaha menghentikan langkahku.
Aku tak peduli. Aku terus berlari sekencang mungkin. Teriakkannya tak sedikitpun kuindahkan. Kututup pintu rapat-rapat, kayu besar kutelentangkan di belakangnya. Bulir air mata keluar dari kedua sudut mataku. Basah. Wajanam itu, mengingatkanku pada peristiwa delapan tahun yang lalu. Peristiwa yang membuatku menangis darah, membuatku pincang seperti ini, membuat adikku meninggalkan diriku untuk selamanya, dan membuat ibuku menetap di rumah sakit jiwa. Sungguh tragis!

Kini, ia hadir di depanku! Apa yang harus kulakukan? Laporkan polisi? Aku tak punya bukti. Atau kubunuh saja? Tidak, aku ingin ia merasakan pedihnya hidup seperti yang dialami Ibu. Tapi, dosakah aku? Tak pernahkah aku berbuat salah dan khilaf? Agh, entahlah.
Aku tak mungkin menolong orang yang telah merenggut nyawa adikku, hingga ibuku stres. Mungkin ini balasan dari yang Maha Tahu, Maha Berkehendak. Meskipun belum setimpal dengan perbuatannya dahulu. Aku ingin ia hidup tanpa tangan dan kaki yang normal. Dengan begitu, ia akan menderita seumur hidupnya, lanjutku.

***
Delapan tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku dua SD, hidup keluargaku dianugerahi kebahagiaan. Indah. Lebih indah daripada pelangi di senja hari. Kasih sayang dan keharmonisan selalu terpancarkan. Namun, setelah ayahku main perempuan, semuanya lenyap. Aku ingat betul saat Ayah dan Ibu bertengkar, hingga mengakibatkan Ayah minggat.

Dengan kecepatan tinggi, Honda yang dikendarai Ayah menabrak sepedaku. Sepeda yang sedang kutumpangi bersama Silvia, adikku. Sepeda yang selalu mengantarkan ke mana pun aku pergi. Peristiwa ini yang membuatku terpuruk, hidup sendiri dengan penuh kekurangan. Rumah beserta isinya terjual demi pengobatan adikku. Namun, maut tak dapat terhentikan.

Rumah papan inilah yang menjadi tempat kuberlindung dari Panas dan hujan. Setiap pagi aku pergi ke pasar. Bekerja sebagai buruh cuci piring di rumah makan Mak Imah. Mata bengkak sisa menangis semalam selalu terpasang di wajahku. Hingga orang-orang menganggap mataku sipit. Aku hanya tersenyum kecil menanggapi anggapan mereka. Aku begitu tertutup. Tak pernah bercerita tentang masalah yang kuhadapi kepada siapapun, meskipun banyak orang bertanya tentang diriku, tentang keluargaku, tentang hidupku.

Baru empat tahun ini aku mulai meninggalkan kebiasaanku; menangis hingga fajar tiba. Aku mulai melukiskan senyum dalam menjalani kenyataan hidup yang pahit ini. Karena aku sadar, air mata tak dapat mengembalikan keluargaku, air mata tak dapat mengubah hidupku seperti dahulu, tetapi malah membuatku semakin terpuruk. Kini, Wajanam itu kembali dalam benakku. Bahkan ada di hadapanku.

Suara ambulance. Ya, ambulance. Suara yang membuat nadiku terhenti sesaat. Bulir-bulir air mata semakin deras membasahi pipi. Kuintip dari celah jendela depan, orang-orang begitu sibuk mengangkat Wajanam. Aku terkulai lemah. Ada rasa senang sekaligus iba bersenandung dalam hati. Kuambil dompet kumuh berwarna cokelat dari dalam kamar. Kupandang foto usang saat perayaan ulang tahunku. Foto yang menggambarkan kebahagiaan di sana. Aku, Ayah , Ibu dan Silvia yang masih dalam kandungan.

“Kau kini terbaring lemah. Meskipun benci yang tertanam dalam hati ini berabad-abad lamanya, aku tetap tak kuasa melihatmu seperti ini. Padahal, inilah saat yang kunanti-nantikan. Melihatmu menderita. Rasanya tak sudi memanggilmu dengan sebutan Ayah, tetapi bagaimanapun jua buruknya prilakumu, kau tetap Ayahku. Orang yang membuahi rahim Ibu, hingga terlahirlah aku di dunia ini. Ayah...” rintihku dengan menunjuk gambar lelaki dalam foto usang itu.

Aku duduk di dipan tua penuh duka. Masa lalu terputar lagi dalam kaset memoriku. Kenangan indah bersama Ayah, Wajanam itu. Mungkin ini yang dikatakan naluri seorang anak kepada orang tuanya. Rasa benci ini akhirnya luluh oleh rasa iba, oleh rasa sayang yang sebenarnya tak pernah hilang dalam lubuk hati.

***
“Pak, lelaki yang tadi dibawa ke mana ya? Ke rumah sakit mana?” tanyaku pada sesorang yang ikut mengangkat Wajanam ke dalam ambulance.
“Hmm, kalau tidak salah dibawa ke rumah sakit Dr. Sobirin.”
“Ohh, terima kasih atas infonya, Pak!”

Aku berjalan kecil, kemudian berhenti di rimbunya pepohonan untuk menunggu angkot yang menuju rumah sakit Dr. Sobirin. Tak butuh waktu lama, sebuah angkot berwarna kuning menghampiriku. Setibanya, aku menguak informasi mengenai Wajanam itu. Dengan tergesa-gesa, akhirnya aku tiba di ruang mawar, ruangan Wajanam dirawat. Ia belum tersadar. Matanya terpejam. Kepalanya diperban, begitu pula tangan dan kakinya.

***
Waktu silih berganti, seperti fajar berganti senja dan senja berganti fajar lagi. Begitulah hidup ini. Ada pergantian, ada perselisihan, perdamian, pertemuan, dan perpisahan. Ini kali pertamanya aku mengkhawatirkan keadaan Ayah. Aku duduk persis di sampingnya, memegang tangannya yang lemah, menatap wajahnya yang pucat pasi bagai mayat hidup, membelai rambut yang dulu hitam kelam kini pudar olah uban. Ayah, bagaimana hidup yang kau jalani selama delapan tahun terakhir ini. Bahagiakah? Dukakah?
“Kreeeekt.....” terdengar suara seseorang membuka pintu dari luar. Aku memandang ke arah pintu penuh harap. Berharap seorang perawat datang mengantarkan makanan. Tetapi, harapan tinggallah harapan.

“Ayah...” ucap bocah kecil yang datang bersama seorang perempuan paruh baya dan pria yang kira-kira berumur dua puluh tahun. Bocah itu langsung merangkul lelaki yang terbaring di ranjang.
“Ayah?” gumamku. Seketika aku terkejut. Hatiku bagaikan tertusuk jarum panjang hingga menembus ke luar. Dia pasti perusak rumah tangga orang tuaku. Ingin rasanya aku membunuh dan mencincangnya. Kuputuskan untuk pergi sesaat, membeli pisau atau golok tajam untuk menebas lehernya. Tetapi perempuan itu menahanku keluar. Ia mengajakku berbincang, kuikuti kemauannya. Sebab, aku tak ingin ia curiga kepadaku.

***
Langit suram bermalamkan dengan dingin mengusik. Meski hujan telah berhenti menyiram keringnya jiwa yang sepi, semerbit dingin masih tersisa. Di bawah pohon waru ini, aku mengakhiri hidup. Aku tak sanggup hidup dengan bara api yang tak tahu arah, bahkan salah arah. Ternyata, dulu Ibu adalah seorang perempuan penghibur yang kemudian menikah dengan Ayah. Aku merasa malu pada diriku sendiri, juga pada perempuan itu. Ibuku yang telah merebut Ayah darinya. Semoga Allah mengampuni.

Related Post:

1 komentar:

  1. Banyak sekali mainan perasaan dan pertanyaan didalam cerpen ini... sungguh sangant bagus intinya. Semoga berjaya didalam Anugerah Cerpen Silambari 2013

    BalasHapus